7 Mar 2013

Di Balik Status ‘Tersangka’ Anas

Oleh: Gandi Mahardika

Banyak yang terkejut ketika pada 22 Februari lalu KPK menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus Hambalang. Pertama, bukti-bukti keterlibatannya terbilang lemah. Dasar utama agaknya kesaksian Nazaruddin yang masih harus diuji kebenarannya. Kedua, Anas sama sekali tidak memainkan peran apapun dalam proyek Hambalang. Karena itu, aneh jika kemudian KPK menetapkannya sebagai tersangka. Juga, mengundang tanya mengapa Tempo terus menyerang dan menuduhnya terlibat korupsi Hambalang.

Berdasarkan KUHAP, untuk menjadikan status seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti yang sah. Lantas, alat bukti apakah yang telah dimiliki oleh KPK? Sayang KPK tak mau membukanya. Gratifikasi mobil Harrier? Kalau ini yang jadi alat bukti, rasanya seperti memaksakan. Pertama, nilai mobil itu sendiri hanya sekitar 600 juta, bukan level KPK. Kedua, mobil itu dimiliki Anas bulan September 2009, sementara ia dilantik sebagai anggota DPR pada Oktober 2009. Ketiga, Anas berulang kali membantah bahwa mobil itu bukan pemberian, tapi dibeli dengan mencicil. Ia memiliki bukti-bukti kuat untuk itu.

Mengapa Tempo Terus Mengganyang Anas?

Oleh: Gandi Mahardika

Bagi para pelanggan dan pembaca setia Tempo (koran dan majalah) akan segera paham bahwa media ini tidak berimbang dalam kasus Hambalang. Khususnya dalam menginvestigasi siapa-siapa yang terlibat dalam korupsi Hambalang. Akibatnya, pemberitaannya tendensius dan mengarah pada pengadilan opini. Anas Urbaningrum adalah contoh jelas korban pembunuhan karakter oleh Tempo. Padahal, semua orang tahu Tempo adalah satu-satunya media investigatif terkemuka di Indonesia dan sangat dipercaya publik.
Mengapa dalam kasus Hambalang terkesan Tempo mengganyang Anas?

Pertama, Tempo juga media-media lain percaya saja pernyataan-pernyataan Nazaruddin sebagai saksi korupsi Hambalang. Tanpa verifikasi dan investigasi mendalam. Padahal, seorang saksi pun bisa dan sangat mungkin berbohong. Mestinya, bagi media sekelas Tempo, sumber pemberitaan harus benar-benar dipastikan akurasi dan kebenarannya. Tidak ditelan mentah-mentah. Apalagi terus-menerus dikutip sehingga seolah kebenaran, padahal belum tentu sahih.

6 Mar 2013

Ramai-ramai "Membunuh" Anas Urbaningrum

Oleh: Shinta Dewi

Ditekan dari atas, disikut dari kiri dan kanan, dan didorong dari belakang. Begitulah keadaan Anas Urbaningrum Sang Ketua Partai Besar yang kini sedang dikucilkan dan dikepung sana-sini.
Suhu politik Partai Demokrat kini semakin memanas, sejumlah senior partai meminta Anas Urbaningrum untuk legowo mengundurkan diri demi menyelamatkan partai yang tersandra oleh ketidakjelasan status hukum sang ketua dalam kasus Hambalang.

Seperti yang sering kita dengar, Anas disebut-sebut oleh M Nazaruddin terlibat dalam korupsi proyek Hambalang. Tuduhan ini sebenarnya masih belum dapat dibuktikan oleh KPK, namun isu dan opini yang berkembang berkata beda. Banyak masyarakat yang mengamini bahkan meyakini bahwa Anas terlibat korupsi.

Tidak hanya media dan musuh-musuh Anas yang menggembar-gemborkan isu dan opini ini, lima menteri dari Demokrat dan sejumlah gubernur dari Demokrat pun ikut angkat suara untuk meminta SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat turun tangan menyelamatkan Partai Demokrat.

Faksionalisasi dalam Tubuh Partai Demokrat Demi pertarungan Politik 2014

Oleh: Shinta Dewi

Melihat dampaknya yang begitu jelas, yakni menggusur dan mendelegitimasi kepemimpinan Anas Urbaningrum di Partai Demokrat, tudingan Nazaruddin tak lepas dari kepentingan lain internal partai yang selama ini ingin merebut kursi ketua umum. Juga tidak lepas dari kepentingan pihak luar partai yang ingin membuat citra buruk Partai Demokrat secara keseluruhan. Muara dari semua itu adalah pertarungan politik 2014.

Setelah terpilih secara sah sebagai ketua umum, sekaligus mengalahkan Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng, langkah Anas Urbaningrum terbuka lebar dalam karir politik dan kepartaian.
Bahkan jika tidak mencalonkan diri sebagai presiden, Anas tetap memiliki suara penting sebagai ketua umum untuk menentukan siapa saja yang bias memakai Partai Demokrat untuk maju ke pemilihan presiden. Di sisi lain, kekalahan faksi Marzuki, dan terlebih Andi, menyisakan kekecewaan besar.