Oleh: Gandi Mahardika
Banyak yang terkejut ketika pada 22 Februari
lalu KPK menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus Hambalang.
Pertama, bukti-bukti keterlibatannya terbilang lemah. Dasar utama
agaknya kesaksian Nazaruddin yang masih harus diuji kebenarannya. Kedua,
Anas sama sekali tidak memainkan peran apapun dalam proyek Hambalang.
Karena itu, aneh jika kemudian KPK menetapkannya sebagai tersangka.
Juga, mengundang tanya mengapa Tempo terus menyerang dan menuduhnya terlibat korupsi Hambalang.
Berdasarkan KUHAP, untuk menjadikan status
seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti yang sah. Lantas,
alat bukti apakah yang telah dimiliki oleh KPK? Sayang KPK tak mau
membukanya. Gratifikasi mobil Harrier? Kalau ini yang jadi alat bukti,
rasanya seperti memaksakan. Pertama, nilai mobil itu sendiri hanya
sekitar 600 juta, bukan level KPK. Kedua, mobil itu dimiliki Anas bulan
September 2009, sementara ia dilantik sebagai anggota DPR pada Oktober
2009. Ketiga, Anas berulang kali membantah bahwa mobil itu bukan
pemberian, tapi dibeli dengan mencicil. Ia memiliki bukti-bukti kuat
untuk itu.
Karena itu, status tersangkanya Anas adalah
sebuah peristiwa politik ketimbang murni kasus hukum. Ada sejumlah
alasan yang mendasarinya. Pertama, SBY mencabut kewenangan Anas sebagai
Ketua Umum Partai Demokrat meski Anas belum berstatus tersangka di KPK.
Kedua, SBY meminta KPK memperjelas status Anas, sesuatu yang tak lazim
dilakukan. Ketiga bocornya Sprindik yang menyebutkan Anas menjadi
tersangka. Keganjilan-keganjilan yang mendahului pengumuman Anas sebagai
tersangka itulah yang menegaskan adanya intervensi istana (Cikeas?)
atas kasus Anas. Ini yang menyingkap aspek politis kasus Anas. Dengan
demikian, apakah ini berarti KPK tampil tidak independen? Perlu
investigasi dan verifikasi lebih lanjut. Yang pasti, para pimpinan KPK
bukan nabi atau malaikat. Mereka juga manusia biasa: bisa tergoda,
takut, bahkan masuk angin.
Sebagai peristiwa politik, status tersangka
atas Anas membuktikan sejumlah hal. Pertama, ketidaksukaan SBY pada Anas
benar adanya. Anas bukan orang yang dijagokannya dalam Kongres di
Bandung 2010. Karena itu, keterpilihannya tidak diinginkan, tak
direstui. Kedua, adanya upaya terus-menerus untuk menjatuhkan Anas dari
musuh-musuhnya di tubuh Partai Demokrat benar adanya. Nazaruddin
hanyalah pion yang dimainkan untuk menghancurkan karier politik Anas.
Ketiga, friksi di dalam tubuh Partai Demokrat memang ada. Selain faksi
Cikeas yang terlanjur sayang pada Andi Mallarangeng, terdapat faksi lain
yang cukup berbahaya, yaitu faksi Marzuki Alie. Dia sampai hari ini tak
pernah terima dikalahkan Anas dalam Kongres di Bandung dan tetap
berambisi menjadi ketua umum.
Keempat, SBY tidak rela Andi menjadi
tersangka di KPK. Karena itu, ia pun berusaha mentersangkakan Anas
sebagai bagian dari politik bumi hangus. Kelima, SBY tidak ingin Partai
Demokrat jatuh ke orang/kelompok di luar lingkarannya. Karenanya,
kehadiran Anas sebagai pemimpin tertinggi di Demokrat baginya adalah
kecelakaan sejarah yang tak boleh dibiarkan. Keenam, hasrat keluarga
Cikeas untuk mleanjutkan dinastinya memang benar. Dan itu dilakukan
melalui Partai Demokrat. Ketujuh, Partai Demokrat sesungguhnya tidaklah
sedemokratis namanya. Ia tak ubahnya partai patrimonialistik yang
bergantung pada figur tunggal SBY. Kedelapan, Demokrat belum menjadi
partai modern yang mampu mengelola dan menyelesaikan konflik internal
yang melanda dirinya. Peran dan pengaruh SBY yang terlalu kuat membuat
infrastruktur dan bangunan partai ini rapuh. Demokrat jadi mudah hancur
oleh intrik dan perselisihan internal antarkadernya. Demikian, wallahu a’lam bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar