Oleh: Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Panggung politik kian berwarna. Sejumlah selebritas turut serta dalam
pusaran kontestasi demokrasi elektoral. Tak hanya berebut jabatan
legislatif seperti ramai terjadi di Pemilu 2009, melainkan juga berupaya
melakukan integrasi vertikal pada jabatan eksekutif baik di daerah
maupun nasional. Pilkada Jawa Barat yang akan di gelar awal 2013 menjadi
salah satu contoh aktual melimpahnya semangat kaum selebritas menjajal
‘tuah’ popularitas yang mencoba mereka konversikan menjadi
elektabilitas.
Kenapa Selebritas?
Tiga dari lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat
adalah artis dan mantan artis. Sebut saja nama Dede Yusuf, Rieke Diah
Pitaloka dan Deddy Mizwar. Sebelumnya, Deddy Dores juga telah mencoba
peruntungan di Pilkada Jabar meskipun pencalonannya layu sebelum
berkembang. Dalam beberapa hari ini, jagat politik juga diramaikan
pernyataan kesiapan Raja Dangdut Rhoma Irama untuk pencapresan 2014.
Kesiapan Rhoma bertarung di 2014, kian menambah daftar panjang kaum
selebritas yang punya keinginan bertransformasi menjadi elite kekuasaan.
Tren keterlibatan mereka seolah meneguhkan asumsi ketersediaan ceruk
bagi kelompok selebritas menjadi “petarung”.
Fenomena ini diperkuat kesuksesan beberapa figur selebritas yang
hijrah ke dunia politik. Sebut saja Rano Karno (Wakil Gubernur Provinsi
Banten), Zumi Zola (Bupati Tanjung Jabung Timur,
Jambi), Dicky Candra ( pernah menjadi Wakil Bupati Garut dari jalur
independen meski akhirnya Dicky mengundurkan diri dan kembali ke habitat
senimannya). Belum lagi, sejumlah nama selebritas yang pada Pemilu
2009 sukses menyandang status terhormat sebagai wakil rakyat baik di
DPR Pusat maupun daerah.
Panggung hiburan dan panggung politik sama-sama menuntut citra,
reputasi, publisitas, koneksi dan lain-lain di luar substansi peran dan
tanggung jawab publik masing-masing. Lantas salahkah jika para artis
ini terlibat di panggung politik? Tentu tidak! Partisipasi politik
merupakan hak setiap warga negara. Terlabih, jika para selebritas itu
sejak awal membangun kapasitas individualnya dalam memahami, mengerti
dan memperjuangkan nilai-nilai politik yang diyakini mereka. Samuel P.
Hutington dan Joan M. Nelson dalam buku No Easy Choise: Political Participation in Develoving Countries,
menyebutan fokus utama partisipasi politik adalah usaha untuk
mempengaruhi “alokasi otoritatif nilai-nilai bagi suatu masyarakat” .
Jika para seleb ini melewati proses dengan sungguh-sungguh dan memiliki track record
yang mumpuni menuju pencalonan dirinya, maka partisipasi politik mereka
layak diapresiasi. Begitu pun sebaliknya, jika partisipasi mereka
sekedar “panggung sandiwara” berbekal nama dan popularitas tanpa paham
ranah permainannya, maka tentu saja mereka hanya akan menjadi ornamen
penghias suasana atau pelengkap penderita saja. Paling bagus mereka
hanya akan berfungsi sebagai mesin efektif pendulang suara (vote getter) di saat pemilu berlangsung.
Sebenarnya, tak mengagetkan jika akhir-akhir ini para selebritas
beramai-ramai masuk bursa pencalonan. Mereka biasanya memiliki kelebihan
dalam proses peneguhan (reinforce) imitasi prilaku. Proses ini tercipta melalui pengkondisian instrumental (instrumental conditioning) pada pemilih. Dalam dunia politik, secara teknis pengkondisian instrumental dilakukan melalui dua prilaku imitasi. Pertama, stimulasi lingkungan yang sama sehingga individu memberi respon yang sama (same behahior).
Politik dan hiburan sama-sama menciptakan mekanisme yang terpola
sehingga khalayak memiliki prilaku serupa. Kesadaran khalayak sering
dimanipulasi sehingga relevan dengan apa yang diinginkan oleh aktor.
Dalam konteks inilah, posisi selebritas menjadi daya tarik tersendiri
terutama dalam meneguhkan pilihan pemilih melalui rangsangan popularitas
yang mereka miliki, terlebih jika literasi politik yang berlangsung di
daerah tersebut minim.
Kedua, pencocokan perilaku individu sedekat mungkin dengan perilaku orang lain. Biasanya hal ini melalui sosok figur atau tokoh yang lazimnya dinamakan proses copying. Para selebritas biasanya menjadi rule model yang familiar dalam kesadaran simbolik khalayak. Tak heran jika dunia hiburan mengenal fans club.
Khalayak sangat lekat dengan sosok Deddy Mizwar dalam perannya di
film “Naga Bonar” maupun sinetron “Kiamat Sudah Dekat”, atau Dede
Yusuf yang membintangi salah satu merk obat sakit kepala dan Rieke
‘Oneng’ dalam “Bajaj Bajuri”. Sehingga, saat selebritas mencalonkan
diri, kesadaran simbolik pemilih di fans club-nya sangat mungkin menyumbang perolehan suara pasangannya.
Namun demikian, pengkondisian instrumental seperti ini lambat tapi
pasti akan mengalami degradasi. Kemasan simbolis para selebritas
tersebut tak lagi berfungsi sebagai pendongkrak suara. Bahkan bisa
menjadi boomerang bagi pasangan kandidat yang bersangkutan, jika kemasan
dan positioning diri si artis tidak tepat, karena bagaimana
pun rakyat akan memilih dan mengkritisi sosok mereka. Kini, strategi
politik pencitraan tak lagi hanya menekankan pada unsur attractiveness, melainkan juga pada kompetensi sosok si artis untuk membawa khalayak pemilih dimana dia mencalonkan diri menuju kehidupan yang lebih baik.
Rekam Jejak Kandidat
Banyak selebritas yang mengalami lompatan politik (political jumping)
dalam rekam jejak politiknya. Keraguan muncul tidak dalam konteks
mempertanyakan wawasan yang dia miliki, melainkan lebih pada
historisitas interaksi diri selebritas dengan realitas politik praktis
sebelum dia mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Deddy Mizwar, Dicky Candra, Primus Yustisio, Eko Patrio, Deddy Dores,
Rachel Maryam misalnya, bisa menjadi contoh metamorfosis yang terkesan
tiba-tiba, tanpa diperkuat oleh pendalaman peran politik mereka
sebelumnya. Jika menggunakan istilah di dunia film, kondisi ini ibarat
aktor yang sedang memainkan sebuah peran tanpa penghayatan yang memadai.
Menjadi kepala daerah tentu saja lebih kompleks dan lebih beresiko
dari hanya sekedar berperan dalam film atau sinetron. Pemimpin akan
menjadi nahkoda sebuah daerah dan bertanggungjawab atas seluruh warga
masyarakat di daerah tersebut.
Sebagai perbandingan dengan tokoh di negara lain yang sukses menuju
kursi presiden dari panggung hiburan, sebut saja nama Ronald Wilson
Reagan (Amerika Serikat) dan Joseph Estrada (Filipina). Reagan
(1911-2004) adalah artis Hollywood yang sukses membintangi sejumlah film antaralain Knute Rockne All American, King Row, Hellcats of the Navy, Bedtime for Bonzo dll., sehingga namanya tercatat di Hollywood Walk of Fame di 6374 Hollywood Boulevard.
Jauh sebelum dia mancalonkan diri sebagai Capres dalam Nominasi
Partai Republik pada tahun 1980, dia pernah menjadi Gubernur California
yang ke-33 (1967-1975). Perjalanannya memenangi konvensi partai pun
tidak mudah, tercatat dia pernah dua kali gagal menjadi Capres Republik,
yakni pada tahun 1968 dan 1976. Rekam jejak sebagai selebritas yang
berpolitik sangat kentara, sejak dia menjadi anggota liberal demokrat
yang mendukung new deal-nya Franklin Delano Roosevelt, kemudian
berubah secara bertahap menjadi konservatif sosial, hingga tahun 1964
menjadi pendukung berat Republikan konservatif Barry Goldwater.
Jejak rekam Joseph Estrada, artis yang telah membintangi lebih dari
120 ini jauh sebelum menjadi Wakil Presiden (1992-1998) dan Presiden
(1998), telah memulai karir politiknya sejak tahun 1969 dan terus
mengasah talenta politiknya hingga terpilih menjadi anggota senat pada
1987. Begitupun yang dijalani Arnold Schawarzeneger lama sebelum
mencalonkan diri sebagai Gubernur California, dia telah aktif sebagai
Republikan.
Dengan demikian, rekam jejak politik inilah yang menjadi salah satu
titik lemah sebagian selebritas kita. Ketergantungan parpol pada sosok
selebritas di era demokrasi elektoral juga patut dikritisi. Krisis figur
yang punya nilai jual di parpol membuktikan gagalnya proses
kaderisasi.
Sumber: Sindo Weekly Magazine, 29 Nov-6 Des 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar